Earthquake monitor

Saturday, December 1, 2007

UN Climate Change Conference 2007: Bali, 3 - 14 Desember 2007

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, beberapa negara bergabung dalam suatu traktat internasional - the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) - yang disusun untuk memikirkan dampak dari pemanasan global. Konvensi ini telah menetapkan suatu kerangka kerja umum bagi usaha-usaha intergovernmental untuk mengantisipasi tantangan perubahan cuaca. Selain mempunyai anggota dalam jumlah yang sangat signifikan, hasil dari konvensi ini telah diratifikasi oleh 192 negara (per 22 Agustus 2007), termasuk Indonesia yang meratifikasinya pada tanggal 23 Agustus 1994. Dengan konvensi ini, negara-negara anggota 'dihimbau' untuk bekerja sama secara nasional maupun internasional dalam mengantisipasi efek rumah kaca.

Mengingat bahwa tingkat emisi gas yang menimbulkan efek rumah kaca terus meningkat, kemudian disepakati bahwa hanya dengan suatu komitmen yang kuat dan mengikat dari negara-negara maju untuk mengurangi emisi tersebutlah yang dapat meyakinkan seluruh sektor terkait untuk mengantisipasi perubahan iklim. Akhirnya pada tanggal 11 December 2007 ditandatangani suatu traktat tambahan yang dikenal dengan Kyoto Protocol yang ditujukan untuk mencapai stabilisasi konsentrasi gas efek rumah kaca di dalam atmosfer pada tingkat tertentu yang dapat mencegah dampak yang berbahaya dari kegiatan manusia terhadap iklim dan cuaca. Kyoto Protocol efektif berlaku sejak tanggal 16 Pebruari 2005, - setelah Rusia meratifikasinya sehingga mencapai syarat 55% emisi gas total di dunia -, dan mewajibkan negara-negara tertentu (negara maju) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang diproduksinya. Kewajiban negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca didasari pada dua alasan utama yaitu, pertama, negara-negara maju lebih mudah untuk "membayar biaya" pemotongan emisi, dan kedua, secara historis negara-negara inilah yang memberikan kontribusi besar dalam menghasilkan jumlah emisi gas per kapita di banding dengan negara berkembang. Namun begitu, karena Kyoto Protocol tersebut mempunyai dampak yang signifikan terhadap seluruh sektor utama perekonomian, Australia yang termasuk sebagai negara maju penghasil emisi gas terbesar baru meratifikasinya pada tanggal 3 December 2007, dan bahkan Amerika (dan Kazakhstan) baru menandatanganinya dan belum meratifikasi protokol ini.

Sebagai negara yang masih dalam taraf "berkembang", walaupun sudah meratifikasi Kyoto Protocol, Indonesia belum dibebani kewajiban untuk menurunkan tingkat emisi efek rumah kaca (di sisi lain, tingkat emisi per kepala juga masih belum melewati ambang batas). Tetapi, mengingat bahwa tingkat ekonomi suatu negara biasanya berbanding lurus dengan tingkat industrialisasi di negara tersebut, perlu diperhitungkan adanya kemungkinan meningkatnya tingkat emisi gas disebabkan oleh meningkatnya industrialisasi di negara kita. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah semakin rusaknya habitat hutan di Indonesia akibat konversi hutan dan penebangan liar.

Dalam hal ini, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat deforestation tertinggi di dunia, bahkan "prestasi" ini telah disetujui untuk dicatat dalam buku record dunia terkenal, Guinnes Book of World Records 2008. Dengan tingkat penggundulan hutan setara dengan 300 lapangan sepak bola setiap jamnya, sekitar 4,4 juta hektar hutan di Indonesia berubah fungsi setiap tahunnya. Ironisnya, sebab penggundulan hutan ini ditengarai bisa terjadi karena sistem politik dan ekonomi yang korup yang mengeksploitasi sumber daya alam, khususnya hutan, untuk tujuan keuntungan politis golongan dan individu.

Akhirnya, cukupkah kita bangga bisa menjadi tuan rumah suatu konvensi tentang lingkungan tingkat dunia sementara kita sendiri lalai dengan apa yang seharusnya kita lakukan?.